(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana
denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah karena melakukan
penganiayaan ringan terhadap hewan:
(a) Barang
siapa tanpa tujuan yang patut atau secara melampaui batas, dengan
sengaja menyakiti atau melukai hewan atau merugikan kesehatannya;
(b)
Barang siapa tanpa tujuan yang patut atau dengan melampaui batas yang
diperlukan untuk mencapai tujuan itu, dengan sengaja tidak memberi
makanan yang diperlukan untuk hidup kepada hewan, yang seluruhnya atau
sebagian menjadi kepunyaannya dan ada di bawah pengawasannya, atau
kepada hewan yang wajib dipeliharanya.
(2) Jika
perbuatan itu mengakibatkan sakit lebih dari seminggu, atau cacat atau
menderita luka-luka berat lainnya, atau mati, yang bersalah diancam
dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan, atau pidana denda
paling banyak tiga ratus rupiah, karena penganiayaan hewan.
(3) Jika hewan itu milik yang bersalah, maka hewan itu dapat dirampas.
(4) Percobaan melakukan kejahatan tersebut tidak dipidana.
detikTV : Revisi Pasal KUHP 302 Tentang Perlindungan Hewanhttp://tv.detik.com/readvideo/20...
Menelantarkan atau bahkan menganiaya hewan peliharaan kini dapat terancam HUKUMAN PENJARA mulai dari 2-7 TAHUN penjara.
Semula aturan tersebut hanya mencantumkan tuntutan 2 bulan hingga 9 bulan penjara.
REVISI DENDA DARI RP.4.500 KE RP.5.000.000 - RP. 10.000.000,-
Ada
1 pasal lg di KUHP yg bs dikenakan di kasus chino ..........Pasal 406
ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”), yang berbunyi
sebagai berikut:
“Dijatuhkan pidana yang sama
terhadap orang yang dengan sengaja dan melawan hukum membunuh,
merusakkan, membikin tak dapat digunakan atau menghilangkan hewan, yang
seluruhnya atau sebagian milik orang lain.”
Unsur-unsur Pasal 406 ayat (2) KUHP antara lain:
1. Seseorang dengan sengaja dan melawan hukum;
2. Melakukan perbuatan membunuh, merusakkan, membuat tidak dapat digunakan, atau menghilangkan;
3. Perbuatan tersebut dilakukan terhadap hewan (sebagian atau seluruhnya) milik orang lain.
yu Pramesti
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Sebelum menjawab pertanyaan Anda, ada baiknya agar jelas kita menyimak terlebih dahulu bunyi Pasal 302 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”):
“(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah karena melakukan penganiayaan ringan terhadap hewan
1. barang
siapa tanpa tujuan yang patut atau secara melampaui batas, dengan
sengaja menyakiti atau melukai hewan atau merugikan kesehatannya;
2. barang
siapa tanpa tujuan yang patut atau dengan melampaui batas yang
diperlukan untuk mencapai tujuan itu, dengan sengaja tidak memberi
makanan yang diperlukan untuk hidup kepada hewan, yang seluruhnya atau
sebagian menjadi kepunyaannya dan ada di bawah pengawasannya, atau
kepada hewan yang wajib dipeliharanya.
(2)
Jika perbuatan itu mengakibatkan sakit lebih dari seminggu, atau cacat
atau menderita luka-luka berat lainnya, atau mati, yang bersalah diancam
dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan, atau pidana denda
paling banyak tiga ratus rupiah, karena penganiayaan hewan.
(3) Jika hewan itu milik yang bersalah, maka hewan itu dapat dirampas.
(4) Percobaan melakukan kejahatan tersebut tidak dipidana.”
Menurut R. Soesilo dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, menjelaskan
bahwa yang dimaksud dalam ayat (1) ialah kejahatan penganiayaan enteng
pada binatang. Untuk itu harus dibuktikan bahwa:
Sub 1:
- orang itu sengaja menyakiti, melukai, atau merusakkan kesehatan binatang
- perbuatan itu dilakukan tidak dengan maksud yang patut atau melewati batas yang diizinkan
Sub 2:
- sengaja tidak memberi makan atau minum kepada binatang
- binatang itu sama sekali atau sebagian menjadi kepunyaan orang itu atau di dalam penjagaannya atau harus dipeliharanya
- perbuatan itu dilakukan tidak dengan maksud yang patut atau melewati batas yang diizinkan
Soesilo
juga menambahkan, perbuatan seperti memotong ekor dan kuping anjing
supaya keliahatan bagus, mengebiri binatang dengan maksud baik yang
tertentu, mengajar binatang dengan memakai daya upaya sedikit menyakiti
pada binatang untuk circus, mempergunakan macam-macam binatang untuk
percobaan dalam ilmu kedokteran (vivisectie) dsb. itu pada
umumnya diizinkan (tidak dikenakan pasal ini), asal saja dilakukan
dengan maksud yang patut atau tidak melewati batas yang diizinkan.
Tentang hal ini bagi tiap-tiap perkara harus ditinjau sendiri-sendiri
dan keputusan terletak kepada hakim. Namun jika perbuatan tersebut
mengakibatkan hal-hal yang tersebut dalam ayat (2), maka kejahatan itu
disebut “penganiayaan binatang” dan diancam hukuman lebih berat.
Dari
penjelasan R. Soesilo tersebut, dapat kita ketahui bahwa hewan yang
dimaksud dalam KUHP adalah hewan pada umumnya, dalam arti bukan
hewan/satwa yang dilindungi oleh negara. Dalam cerita Anda, Anda tidak
menjelaskan mengenai hewan apa yang dimaksud. Oleh karena itu, kami
perlu membuat asumsi bahwa hewan tersebut bukanlah hewan yang dilindungi
oleh negara seperti yang dimaksud Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa (“PP 7/1999”) beserta lampirannya.
Jika
memang hewan tersebut bukan hewan yang dilindungi negara, maka pada
dasarnya undang-undang di Indonesia mewajibkan setiap orang untuk
melakukan pemeliharaan, pengamanan, perawatan, dan
pengayoman hewan dengan sebaik-baiknya sehingga hewan bebas dari rasa
lapar dan haus, rasa sakit, penganiayaan dan penyalahgunaan, serta rasa
takut dan tertekan, demikian bunyi Pasal 66 ayat (2) huruf c Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (“UU 18/2009”).
Berpedoman
pada bunyi Pasal 66 ayat (2) UU 18/2009 itu, maka jika memang hewan
tersebut adalah bukan hewan yang dilindungi oleh negara, Anda dapat
memelihara hewan tersebut jika ia menderita stress atau sekarat seperti
dalam cerita Anda. Jadi, Anda perlu melihat lagi apakah
hewan tersebut merupakan satwa yang dilindungi atau tidak karena tidak
semua orang dapat begitu saja mengambil alih dalam merawat atau
memelihara satwa yang dilindungi tersebut. Selain itu, perlu
diperhatikan pula bagaimana prosedur pengangkatan/adopsi hewan jika
memang hewan yang mau Anda ambil alih pemeliharaannya itu adalah hewan
milik orang lain sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Menjawab
pertanyaan Anda yang lainnya mengenai tindakan nyata dalam penerapan
pasal ini, kita dapat melihat kasus yang terdapat pada Putusan Mahkamah
Agung (MA) No. 215K/Pid/2005. Dalam putusan ini disebutkan bahwa
terdakwa menggantung dan mengikat kencang leher seekor sapi ke sebuah
pohon coklat hingga sapi tersebut mati. Perbuatan terdakwa diancam
sesuai Pasal 302 ayat (2) KUHP. Namun fakta yang terungkap di persidangan adalah perbuatan
terdakwa diluar kemampuannya karena terdakwa adalah orang kurang waras
sehingga tidak mampu berpikir secara baik sehingga Mahkamah Agung
dalam putusannya menyatakan bahwa terdakwa telah terbukti secara sah
dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana tetapi oleh karena
terdakwa adalah orang kurang waras, maka sesuai ketentuan Pasal 44 KUHP tidak
dapat dijatuhi pidana tetapi terdakwa dilepas dari tuntutan hukum
(lebih lanjut mengenai penerapan Pasal 44 KUHP ini, Anda bisa menyimak
artikel Apakah Seorang yang Gila Bisa Dipidana?)
Melihat
kasus tersebut, maka dapat kita simpulkan bahwa penegakan hukum Pasal
302 KUHP dilaksanakan oleh penegak hukum. Jadi, hal ini kiranya cukup
untuk menepis anggapan Anda bahwa Pasal 302 “hanya menjadi pelengkap saja di KUHP.”
Pasal 302 KUHP bukanlah hanya sebagai pelengkap saja, melainkan juga
merupakan pedoman dalam memperlakukan hewan secara wajar.
Terkait dengan pertanyaan Anda lainnya tentang apakah ada aturan di luar KUHP yang juga mengatur mengenai satwa, mengenai hal ini kita dapat melihat ketentuan dalam Pasal 66 ayat (1) UU 18/2009, yang berbunyi:
“Untuk
kepentingan kesejahteraan hewan dilakukan tindakan yang berkaitan
dengan penangkapan dan penanganan; penempatan dan pengandangan;
pemeliharaan dan perawatan; pengangkutan; pemotongan dan pembunuhan;
serta perlakuan dan pengayoman yang wajar terhadap hewan.”
Kepentingan kesejahteraan hewan yang dimaksud dalam pasal tersebut salah satunya meliputi (lihat Pasal 66 ayat [2] huruf c UU 18/2009):
“Pemeliharaan,
pengamanan, perawatan, dan pengayoman hewan dilakukan dengan
sebaik-baiknya sehingga hewan bebas dari rasa lapar dan haus, rasa
sakit, penganiayaan dan penyalahgunaan, serta rasa takut dan tertekan;”
Dalam Penjelasan Pasal 66 ayat [2] huruf c UU 18/2009 disebutkan:
Yang
dimaksud dengan “penganiayaan” adalah tindakan untuk memperoleh
kepuasan dan/atau keuntungan dari hewan dengan memperlakukan hewan di
luar batas kemampuan biologis dan fisiologis hewan, misalnya
pengglonggongan sapi.
Yang dimaksud dengan
“penyalahgunaan” adalah tindakan untuk memperoleh kepuasan dan/atau
keuntungan dari hewan dengan memperlakukan hewan secara tidak wajar
dan/atau tidak sesuai dengan peruntukan atau kegunaan hewan tersebut,
misalnya pencabutan kuku kucing.
Peraturan lainnya mengenai perlakuan hewan secara wajar juga diatur lebih khusus dalam Pasal 92 Peraturan Pemerintah Nomor 95 Tahun 2012 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Kesejahteraan Hewan (“UU 95/2012”) yang berbunyi:
“Setiap orang dilarang untuk:
a. menggunakan
dan memanfaatkan Hewan di luar kemampuan kodratnya yang dapat
berpengaruh terhadap kesehatan, keselamatan, atau menyebabkan kematian
Hewan;
b. memberikan
bahan pemacu atau perangsang fungsi kerja organ Hewan di luar batas
fisiologis normal yang dapat membahayakan kesehatan, keselamatan, atau
menyebabkan kematian Hewan;
c. menerapkan
bioteknologi modern untuk menghasilkan Hewan atau produk Hewan
transgenik yang membahayakan kelestarian sumber daya Hewan, keselamatan
dan ketenteraman bathin masyarakat, dan kelestarian fungsi lingkungan
hidup;
d. memanfaatkan kekuatan fisik Hewan di luar batas kemampuannya; dan
e. memanfaatkan bagian tubuh atau organ Hewan untuk tujuan selain medis.”
Dari
beberapa peraturan yang kami sebutkan di atas yang pada umumnya
mengatur mengenai hewan yang tidak dilindungi oleh negara, ada pula
peraturan yang secara khusus mengatur mengenai hewan/satwa yang
dilindungi.
Peraturan tersebut adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (“UU 5/1990”). Pasal 1 angka 5 UU 5/1990 memberikan definisi mengenai satwa, yakni semua jenis sumber daya alam hewani yang hidup di darat dan/atau di air, dan/atau di udara.
Kemudian, Pasal 20 ayat (1) UU 5/1990 menggolongkan jenis satwa, yang selengkapnya pasal tersebut berbunyi:
“Tumbuhan dan satwa digolongkan dalam jenis:
a. tumbuhan dan satwa yang dilindungi;
b. tumbuhan dan satwa yang tidak dilindungi.”
Mengenai larangan perlakuan secara tidak wajar terhadap satwa yang dilindungi terdapat dalam Pasal 21 ayat (2) UU 5/1990 yang berbunyi:
“Setiap orang dilarang untuk
a. menangkap,
melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan
memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup;
b. menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati;
c. mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia;
d. memperniagakan,
menyimpan atau memiliki kulit, tubuh atau bagian-bagian lain satwa
yang dilindungi atau barang-barang yang dibuat dari bagian-bagian satwa
tersebut atau mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat
lain di dalam atau di luar Indonesia;
e. mengambil, merusak, memusnahkan, memperniagakan, menyimpan atau memiliki telur dan/atau sarang satwa yang dilindungi.”
Sanksi
pidana bagi orang yang sengaja melakukan pelanggaran terhadap
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) tersebut adalah
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda
paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Demikian
sebagaimana diatur dalam Pasal 40 ayat (2) UU 5/1990.
Sedangkan
untuk dapat atau tidaknya Anda menuntut orang yang melakukan
penganiayaan terhadap hewan, hal ini dapat saja dilakukan akan tetapi
dalam bentuk pelaporan. Anda dapat melaporkan suatu tindak pidana
penganiayaan terhadap hewan kepada kepolisian. Nantinya, pejabat
penyidik pegawai negeri sipil yang akan melakukan
pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan
tindak pidana di bidang peternakan dan kesehatan hewan (Pasal 84 ayat [2] huruf a UU 18/2009).
Dasar hukum:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht) Staatsblad Nomor 732 Tahun 1915
2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya
3. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan
4. Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Swasta.
5. Peraturan Pemerintah Nomor 95 Tahun 2012 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Kesejahteraan Hewan
Putusan:
Putusan Mahkamah Agung (MA) No. 215K/Pid/2005
Referensi:
R. Soesilo. 1991. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Politeia: Bogor.
UU
Perlindungan Hewan The Book of Procedural Law (Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana - KUHP) number 302 Hukum yang mengatur tentang kejahatan
terhadap hewan termasuk kucing dan anjing. 1. Melakukan penganiayaan
ringan terhadap hewan (dengan sengaja menyakiti atau melukai hewan atau
merugikan kesehatannya,atau tidak memelihara hewan peliharaannya
dengan layak ) diancam dengan pidana penjara paling lama 3 bulan atau
pidana denda paling banyak Rp. 45.000.000,- *Perma No. 2 Tahun 2012
tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam
KUHP. 2. Jika melakukan penganiayaan berat terhadap hewan (sakit lebih
dari seminggu, luka-luka, cacat atau mati), diancam dengan pidana
penjara paling lama 9 bulan atau pidana denda paling banyak Rp.
3.000.000,-*Perma No. 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak
Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP. 3. Jika hewan tersebut milik
yang bersalah,maka hewan tersebut dapat dirampas. 4. Percobaan melakukan
kejahatan tersebut tidak dipidana